Sunday, March 25, 2012

dulu, sekarang, sampai nanti

Holiday Writing Challenge
dulu, sekarang, sampai nanti

Devan memperlambat langkah kakinya ketika sampai pada tempat yang ia tuju sejak tadi. Ruang 206. Tulisan itu terbaca jelas olehnya. Namun,  entah apa yang membuatnya melambat, mungkin resah. Terlebih dalam hatinya, ia takut. Kehilangan. Kata itu, walau singkat, tentu mengerikan ditelingamu bukan?
            Devan sampai didepan pintu. Ia memegang gagang pintu itu, agak ragu, tapi akhirnya masuk juga. Ia melihat Gadis itu, berbaring lemah di ranjang Rumah sakit ini. secara spontan wajah Devan berubah cerah dihadapan gadis itu.
            “Hai Sad, aku bawa ini” ucapnya sambil tersenyum.
Devan duduk dikursi yang berada di sebelah kasur Sadira. Ia menunjukkan apa yang di bawanya. Buah-buahan segar kesukaan Sadira.
“terimakasih, tentu aku akan memakannya” suara Sadira terdengar riang, walau pelan. Sangat beda dengan Sadira beberapa bulan yang lalu.
Sadira, Devan mengenal gadis ini adalah Gadis yang ceria. Bahkan kadang usil. Tapi gadis ini sungguh sangat menggemaskan, badannya yang mungil, matanya yang menyipit setiap kali ia tersenyum, Devan sangat senang melihatnya, walau kerap kali Devan menggoda Gadis itu, “sayang Matamu kemana? Kenapa ilang?” selalu pula Sadira cemberut mendengarnya, beberapa menit kemudian ia kembal ceria, karena ia tahu pacarnya ini mulutnya suka ikut usil.
Tapi kini berbeda. Gadis yang sudah dipacari Devan selama tiga tahun tidak bisa seceria dulu. Sejak mengetahui keadaan ginjalnya. Sadira memang down, tapi ia selalu yakin selama orang-orang tersayang ada didekatnya, ia akan kuat. Mereka pasti akan mendoakan yang terbaik untuk kondisinya. Ia yakin itu. Untuk itu, ia tidak menunjukkan kesedihannya pada siapapun, termasuk Devan.
Semakin hari, kondisinya makin parah. Berbagai upaya telah dilakukan, namun sampai sekarang hasilnya nihil. Ginjal gadis itu tidak berfungi dengan baik.
“Devan..” ucapan Sadira menyadarkan Devan dari lamunannya.
“kau tahu? Aku senang kau ada disini”
Devan meraih tangan Sadira. Dingin. Putih dan pucat. “aku akan disini menemanimu”
“apakah aku tidak mengganggumu?”
“sama sekali tidak. Biarpun kau mengusirku, aku akan tetap menunggumu”
“apa yang akan kau lakukan?” Tanya Sadira langsung.
“aku akan menunggumu dari balik sana” Devan menoleh kearah pintu, memberikan isyarat lewat gerakan wajah.
“Hahaha” Sadira tertawa, tersenyum, menarik pipinya hingga matanya membentuk garis kecil. Devan merasa tenang melihat senyum itu.
“Kau tau, aku tidak mungkin mengusirmu”
“Devan” panggil Sadira lagi. Devan menoleh menunggu gadis itu berbicara.
“menurutku…” Sadira diam sejenak. “kita tidak pernah benar-benar bisa menyentuh hidup seseorang. Dalam suatu hubungan, apapun itu, kemungkinan ditinggal dan meninggalkan itu ada”
Devan belum berkomentar, lebih tepatnya tidak berkomentar. “seseorang tidak akan menceritakan seluruh problem yang ia miliki, sekalipun pada orang yang sangat ia percayai”
Sadira menatap Devan dalam.
“perpisahan itu pasti ada bukan, entah dengan cara seperti apa Tuhan memberikan jalannya”
Devan menggenggam tangan Sadira. Memberikan ketenangan. Bukan hanya di genggam, tapi juga menggenggam. Sadira menggenggam tangan Devan kuat-kuat. ia juga butuh kekuatan saat ini. Melihat wajah laki-laki itu, ia tersenyum. Kalau aja semua masalah itu lepas dari pundaknya, ia lega. Namun Sadira tidak menyesali apa yang telah terjadi. Penyakitnya. Ia tidak menyalahkan penyakitnya.
“doakan operasiku besok berhasil” bisik Sadira teringat besok adalah hari dimana ginjalnya akan mendapatkan ginjal baru.
“aku selalu mendoakanmu”
Hening. Tangan mereka masih saling menggenggam. Devan mencium pipi pucat itu. hati-hati sekali. Seolah pipi itu adalah luka.
Sadira bisa merasakan kecemasan Devan, sepintar-pintarnya laki-laki itu menyembunyikan perasaannya, ia tahu Devan berusaha tegar. Ia sangat mengenal laki-laki itu.
“Sadira Aryza”
“ya?”
“berjanjilah padaku, kau akan bertahan. Kalau bukan demi aku, demi keluargamu, demi dirimu sendiri” ucap Devan lirih.
“aku… aku akan bertahan. Untuk keluargaku, untukku, dan untukmu”
Tangan Sadira menyentuh pipi Devan. Devan yakin Gadis seceria Sadira akan kuat. tidak perlu menyalahkan masalah yang sedang dihadapi. Hanya akan memperkeruh suasana kalau tidak dicari solusinya. Devan akan mendukung Sadira, meyakinkan dan menguatkannya.
“kau akan sembuh, dan berikan aku senyuman terhebat, sampai aku tidak bisa menemukan dimana kedua matamu” Devan bergurau sekenanya. Tidak sia-sia. Gadis itu tersenyum.
“Sadira…” bisik Devan lirih.
“Aku mencintaimu”
“ Aku mencintaimu Sad, sejak dulu, sekarang, mudah-mudahan sampai nanti”
Akupun begitu, batin Sadira. Walau ia tak mengucapkannya, ekspresi wajahnya cukup menunjukkan bahwa ia juga mencintai Devan. Sepenuh hati.