dulu, sekarang, sampai nanti
Devan memperlambat langkah kakinya
ketika sampai pada tempat yang ia tuju sejak tadi. Ruang 206. Tulisan itu
terbaca jelas olehnya. Namun, entah apa
yang membuatnya melambat, mungkin resah. Terlebih dalam hatinya, ia takut. Kehilangan. Kata itu, walau singkat,
tentu mengerikan ditelingamu bukan?
Devan
sampai didepan pintu. Ia memegang gagang pintu itu, agak ragu, tapi akhirnya
masuk juga. Ia melihat Gadis itu, berbaring lemah di ranjang Rumah sakit ini.
secara spontan wajah Devan berubah cerah dihadapan gadis itu.
“Hai
Sad, aku bawa ini” ucapnya sambil tersenyum.
Devan duduk
dikursi yang berada di sebelah kasur Sadira. Ia menunjukkan apa yang di
bawanya. Buah-buahan segar kesukaan Sadira.
“terimakasih, tentu
aku akan memakannya” suara Sadira terdengar riang, walau pelan. Sangat beda
dengan Sadira beberapa bulan yang lalu.
Sadira, Devan
mengenal gadis ini adalah Gadis yang ceria. Bahkan kadang usil. Tapi gadis ini
sungguh sangat menggemaskan, badannya yang mungil, matanya yang menyipit setiap
kali ia tersenyum, Devan sangat senang melihatnya, walau kerap kali Devan
menggoda Gadis itu, “sayang Matamu kemana? Kenapa ilang?” selalu pula Sadira
cemberut mendengarnya, beberapa menit kemudian ia kembal ceria, karena ia tahu
pacarnya ini mulutnya suka ikut usil.
Tapi kini
berbeda. Gadis yang sudah dipacari Devan selama tiga tahun tidak bisa seceria
dulu. Sejak mengetahui keadaan ginjalnya. Sadira memang down, tapi ia selalu yakin selama orang-orang tersayang ada didekatnya,
ia akan kuat. Mereka pasti akan mendoakan yang terbaik untuk kondisinya. Ia yakin
itu. Untuk itu, ia tidak menunjukkan kesedihannya pada siapapun, termasuk
Devan.
Semakin hari,
kondisinya makin parah. Berbagai upaya telah dilakukan, namun sampai sekarang
hasilnya nihil. Ginjal gadis itu tidak berfungi dengan baik.
“Devan..” ucapan
Sadira menyadarkan Devan dari lamunannya.
“kau tahu? Aku senang
kau ada disini”
Devan meraih
tangan Sadira. Dingin. Putih dan pucat. “aku akan disini menemanimu”
“apakah aku
tidak mengganggumu?”
“sama sekali
tidak. Biarpun kau mengusirku, aku akan tetap menunggumu”
“apa yang akan
kau lakukan?” Tanya Sadira langsung.
“aku akan
menunggumu dari balik sana” Devan menoleh kearah pintu, memberikan isyarat
lewat gerakan wajah.
“Hahaha” Sadira
tertawa, tersenyum, menarik pipinya hingga matanya membentuk garis kecil. Devan
merasa tenang melihat senyum itu.
“Kau tau, aku
tidak mungkin mengusirmu”
“Devan” panggil
Sadira lagi. Devan menoleh menunggu gadis itu berbicara.
“menurutku…”
Sadira diam sejenak. “kita tidak pernah benar-benar bisa menyentuh hidup
seseorang. Dalam suatu hubungan, apapun itu, kemungkinan ditinggal dan
meninggalkan itu ada”
Devan belum
berkomentar, lebih tepatnya tidak berkomentar. “seseorang tidak akan
menceritakan seluruh problem yang ia
miliki, sekalipun pada orang yang sangat ia percayai”
Sadira menatap
Devan dalam.
“perpisahan itu
pasti ada bukan, entah dengan cara seperti apa Tuhan memberikan jalannya”
Devan menggenggam
tangan Sadira. Memberikan ketenangan. Bukan hanya di genggam, tapi juga menggenggam.
Sadira menggenggam tangan Devan kuat-kuat. ia juga butuh kekuatan saat ini. Melihat
wajah laki-laki itu, ia tersenyum. Kalau aja semua masalah itu lepas dari
pundaknya, ia lega. Namun Sadira tidak menyesali apa yang telah terjadi. Penyakitnya.
Ia tidak menyalahkan penyakitnya.
“doakan
operasiku besok berhasil” bisik Sadira teringat besok adalah hari dimana
ginjalnya akan mendapatkan ginjal baru.
“aku selalu
mendoakanmu”
Hening. Tangan mereka
masih saling menggenggam. Devan mencium pipi pucat itu. hati-hati sekali. Seolah
pipi itu adalah luka.
Sadira bisa
merasakan kecemasan Devan, sepintar-pintarnya laki-laki itu menyembunyikan
perasaannya, ia tahu Devan berusaha tegar. Ia sangat mengenal laki-laki itu.
“Sadira Aryza”
“ya?”
“berjanjilah
padaku, kau akan bertahan. Kalau bukan demi aku, demi keluargamu, demi dirimu
sendiri” ucap Devan lirih.
“aku… aku akan
bertahan. Untuk keluargaku, untukku, dan untukmu”
Tangan Sadira
menyentuh pipi Devan. Devan yakin Gadis seceria Sadira akan kuat. tidak perlu
menyalahkan masalah yang sedang dihadapi. Hanya akan memperkeruh suasana kalau
tidak dicari solusinya. Devan akan mendukung Sadira, meyakinkan dan
menguatkannya.
“kau akan
sembuh, dan berikan aku senyuman terhebat, sampai aku tidak bisa menemukan
dimana kedua matamu” Devan bergurau sekenanya. Tidak sia-sia. Gadis itu
tersenyum.
“Sadira…” bisik
Devan lirih.
“Aku mencintaimu”
“ Aku
mencintaimu Sad, sejak dulu, sekarang, mudah-mudahan sampai nanti”
Akupun begitu, batin Sadira. Walau ia tak
mengucapkannya, ekspresi wajahnya cukup menunjukkan bahwa ia juga mencintai
Devan. Sepenuh hati.