Clarissa
“Hidup perlu
tujuan bukan?” sesaat aku tertegun oleh pertanyaannya. Tiga detik mataku
menembus matanya. Menerawang isyarat sebuah perasaan, sakit, kecewa, marah,
bahagia, dan tentunya bingung. Cepat-cepat kupalingkan wajahku. Dia amat
berbeda hari ini, entahlah aku tidak bisa menebak apa fikirannya. Pembicaraan
ini berawal dari sebuah harapan dan cita-cita. ketika sebuah mimpi menjadi
panutan dalam hidup, ketika mimpi itu ingin kita genggam. “you’re the driver not a passenger in Life!” ucapnya mengutip salah
satu quote yang pernah ku tunjukkan
padanya ketika aku membaca salah satu novel.
Ia
tersenyum ramah, sembari meletakan telapak tangannya yang besar di atas
kepalaku. Mengacak rambutku. “punya puisi?”
“untuk
apa?” tanyaku bingung. “bikinin gue puisi dong” pintanya manis.
“Kapan
? tentang apa? Gue bukan pujangga, engga bisa bikin puisi Far apalagi yang
romantis” aku memelas. Ia tersenyum lagi, salah satu senyum yang paling aku
sukai. Aufar menatapku, “sekarang, tentang apapun yang ada di fikiran lo saat
ini” aku mengambil notebook dan
sebuah bolpoint. Aku diam sejenak. Dan tanpa sadar jemari-jemariku mulai menuliskan kata demi
kata. Sepuluh menit berlalu, puisi itu selesai. “Nih!” aku menyodorkan notebook itu padanya. “Manusia di
persimpangan” dia menggumam membaca judul puisi yang kubuat.
Manusia di Persimpangan
Manusia
di persimpangan
Mencari
arah
Mencari
pancaran cahaya terang
Mencari
kesejukan di setiap tetesan air hujan
Manusia di persimpangan
Amarahmu bersama egomu
Akankah kau menyadari
Setiap kalimat ambigu yang kau gambarkan padaku?
Wahai
manusia di persimpangan
Ada hidup
ada akhir
Kapal
berlayar pun perlu tujuan
Berbeloklah
dan kembali padaku
“puisinya bagus. Lumayan baguslah
untuk dibikin dalam waktu sesingkat ini” pujinya tulus.
Aku tak berminat menanggapi
pujiannya. Otakku sesak di penuhi pertanyaan-pertanyaan untuk cowok di
hadapanku ini. Aku ragu mengatakannya. Lebih tepatnya takut. Nafasku tercekat
beberapa saat, sampai akhirnya suara itu keluar dari tenggorokanku.
“Far” ku panggil namanya sepelan
mungkin,hanya sebatas itu volume suara yang bisa kukeluarkan.
“ya ?”
“lo tau kan kita temenan udah
lama?”
“iyalah, sampe-sampe you know me so well, I know you so well kan”
candanya.
“lo tau kan gue perduli sama lo?” ucapku
masih serius.
Hening sejenak. Sepertinya dia
mengerti arah pembicaraan ini. aku menunduk. Sekilas aku melihat dia tersenyum
tipis. “iya gue tau” balasnya singkat.
“kemana Aufar!” gertakku langsung, aku
melihat ekspresi terkejut dan bingung yang tergambar jelas dari wajahnya.
“kemana Aufar yang dulu..” ucapku mulai terisak. Lalu, ia pun tenggelam dalam
fikirannya sendiri.
**
Aufar
“maafin gue Clar” gue Cuma bisa
bilang sederet kalimat itu dalam hati. Di hadapan cewek ini. Mungkin gue
pecundang kelas kakap. Minta maaf sama orang yang paling perduli sama gue pun
gue ngga berani. Gue udah bikin dia bingung. Gue nggak mau terbuka.
Gue tahu puisi yang dia buat, jelas
dia dedikasikan untuk gue. Dia emang paling tahu banget gue, tapi satu hal yang
gue tahu antara gue sama Clarissa bukanlah sepasang kekasih.
Manusia di persimpangan. Itu gue
kah?
Gue gatau kenapa, rasanya lagi
ancur banget. Nggak bisa damai sama diri sendiri. Gue punya harapan, selaknya
manusia yang ingin bertahan hidup dengan sebuah mimpi sebagai penguat bagi diri
untuk maju.
Tapi kenapa hidup gue seperti
panggung sandiwara. Dimana orang tua gue bertindak sebagai dalang. Memilihkan
cita-cita untuk gue. Mengaturnya sampai di usia gue yang ke-18 ini. Demi sebuah
keinginan yang ingin mereka wujudkan. Andai.. andai gue nggak pernah jadi orang
lain. Pasti gue bakal ngecewain orang tua gue.
Andai gue nggak pernah jadi orang
lain! Andai.. andai.. gue Cuma bisa berandai-andai sekarang. Apakah udah telat
buat berubah? Buat jadi gue yang dulu lagi.
Andaru,
secepet itu lo pergi!
Dulu gue pernah punya kembaran.
Andaru namanya. Dia meninggal, karena kecelakan 3 tahun silam. Dan sejak saat
gitu, gue coba buat jadi seperti Andaru. Yang pendiam. Yang nurut sama nyokap.
Yang rajin kalo disuruh bokap. Semua ini gue lakuin demi ngeliat kedua orang
tua gue bahagia. Karena gue tau sejak Andaru pergi, kesedihan dari mereka
begitu kerasa. Gue nggak tega. Gue sebagai orang yang pernah berbagi tempat di
rahim nyokap gue buat dia, jelas ancur banget.
Kami memang kembar, dari segi
fisik. Tapi tentang mimpi, justru gue sama dia bertolak belakang. Siapa sangka?
Karena kenyataannya gak ada kembar yang benar-benar identik. Andaru kepengen
banget jadi dokter, dan gue.. ga ingin itu, bahkan terbesit dalam fikiran gue
pun nggak pernah.
Selama ini, gue Cuma bertahan.
Bertahan buat jadi Andaru. Jika yang terbaik adalah, gue dan Andaru melebur
menjadi satu dalam dunia ini, dengan tokoh Aufar. Hasilnya adalah Aufar yang
sekarang.
**
Clarissa
Sejak hari itu aku tidak melihatnya
lagi. Udah ku coba mencari keberadaannya, tapi belum juga ada kabar. Kemana Aufar itu?
Entah perasaan apa ini, saat ia
tidak ada. Hati kecil ku seolah bilang, aku merindukannya. Hanya dia.
Yang aku tahu, aku tak pernah
menyukainya, tapi kenapa perasaan nyaman itu begitu terasa saat aku bersamanya? Banyak yang bilang bahwa aku
dan dia sama-sama saling menyukai, dan sama-sama saling menyangkal perasaan
itu. Karena yang aku tau, Aufar temanku, sahabatku. Oh tidak, mungkin dia seseorang yang berarti untukku.
**
Sudah semingu Aufar menghilang.
Masih belum juga kudapat kabar tentang dirinya. Aku mencoba menyibukkan diriku
sendiri. Karena beberapa hari ini, fikiranku terbelenggu oleh bayangan tentang
Aufar, dan dimana cowok itu berada sekarang.
Aku pergi kesalah satu mall di
Kawasan Margonda Raya, Depok. Ku habisakan waktu membaca beberapa majalah dan
membeli novel. Hari mulai siang, perutku terasa lapar. Aku mencari makanan pada
jejeran kios makanan yang ada di foodcourt
mall ini. Sambil menunggu pesanan, aku mencari tempat duduk yang nyaman.
Tak lama jeda aku duduk, tiba-tiba
seseorang menepuk punggungku. Aku menoleh. Seseorang itu adalah seseorang yang
ingin aku lupakan hari ini. Lalu ia duduk di hadapanku.
Hening.
pesananan makananku datang. Aku
menyantap lahap, tanpa memperdulikan dan menawari makhluk dihadapanku ini.
“lo ga nanya gue kemana?” tanyanya
di sela-sela makanku. “Hah?” balasku pongo. Aku melanjutkan makanku, pada suapan terakhir. Setelah minum, barulah aku
menanggapinya.
“gue gak ada kewajiban buat nanya
soal itu” ucapku cuek.
“dih, kok lo ngambek sih?” ia
menaikkan alisnya.
“gue ngak ngambek, kalo ngambek lo
bawain gue balon juga gue diem deh. Gue marah tau!” ucapku geram.
“lo marah karena kangen gue?”
Hening.
“nih buat lo!” ia menyodorkan
coklat. Kesukaanku.
Hening lagi.
“gue pergi ke Padang, buat minta
izin sama keluarga besar disana. Gue mau ke Berlin, nerusin study photograpy. Lo tau kan ini mimpi
gue, bukan mimpi Andaru yang lagi berusaha gue wujudin!”
“hah? Maksudnya?” tanyaku agak
nggak mengerti. Akhirnya Aufar menceritakan seluruh kegalauan hatinya, yang
sebelumnya ia simpan rapat-rapat. Ia udah milih buat tetep jadi Photographer yang handal. Memilih untuk
jadi dirinya sendiri. Setelah berbicara baik-baik, akhirnya orang tua Aufar
menyetujuinya. Bahwa Aufar tidak pernah menginginkan menjadi seorang dokter.
Aku lega mendengarnya, karena Aufar
telah memilih, hal yang ia inginkan. Bukan karena paksaan ataupun kewajiban
semata.
**
Aufar
Hari ini, hari keberangkatan gue ke
Berlin. Disana udah ada Anggara, senior gue yang bakal ngebantu gue saat ada
disana.
Kalau emang waktu itu gue gak
dibuatin puisi itu sama Clarissa, mungkin gue masih harus menekuni bidang yang
nggak gue minati.
Akhirnya gue berani, buat mengenali
siapa diri gue yang sebenrnya. Bahwa inilah yang gue mau. Inilah mimpi gue,
sebisa mungkin gue jujur dan ngeyakinin orang tua gue. Bahwa gue bisa. Dan akan
meraih sukses itu kelak dengan cara yang bikin gue nyaman.
Pesawat sebentar lagi take off. Gue melihat wajah itu.
Tersenyum manis sambil melambaikan tangannya kearah gue. Empat tahun belakangan
ini, pasti gue nggak akan ngeliat dia. Dan pasti gue akan sangat merindukannya.
Gue yakin itu. Gue pasti kembali Clar…
**
Ini bukan tentang memilih harus ke kiri, kekanan,
ataupun memilih jalan yang lurus. Ini hanyalah kisah, seorang anak bernama
manusia. Di mana ketika kita terjebak, dalam mencari arah kemana sebenarnya
hidup yang kita inginkan. Dikenal dengan proses pencarian jati diri.
Kini manusia di persimpangan itu
telah menemukan arahnya. Aufar bukanlah Andaru. Aufar ga akan bisa jadi Andaru,
sekalipun mereka itu kembar. Karena setiap anak yang lahir, punya soul nya masing-masing. Punya mimpi. Dan
ketika anak manusia itu beranjak dewasa, dia harus memilih apa yang terbaik
untuk dirinya dan masa depannya. Bukan paksaan dari siapapun. Tapi asli dari
nurani hati masing-masing
Karena sesungguhnya, manusia di
perismpangan itu tidak perlu di kekang. Ia hanya membutuhkan gambaran tentang
kehidupan dari seseorang yang lebih dewasa dari padanya.
Berbahagialah disana. Kejar
mimpimu. Aku pasti akan merindukanmu.