Saturday, April 7, 2012

Manusia di Persimpangan


Clarissa
 “Hidup perlu tujuan bukan?” sesaat aku tertegun oleh pertanyaannya. Tiga detik mataku menembus matanya. Menerawang isyarat sebuah perasaan, sakit, kecewa, marah, bahagia, dan tentunya bingung. Cepat-cepat kupalingkan wajahku. Dia amat berbeda hari ini, entahlah aku tidak bisa menebak apa fikirannya. Pembicaraan ini berawal dari sebuah harapan dan cita-cita. ketika sebuah mimpi menjadi panutan dalam hidup, ketika mimpi itu ingin kita genggam. “you’re the driver not a passenger in Life!” ucapnya mengutip salah satu quote yang pernah ku tunjukkan padanya ketika aku membaca salah satu novel.
            Ia tersenyum ramah, sembari meletakan telapak tangannya yang besar di atas kepalaku. Mengacak rambutku. “punya puisi?”
            “untuk apa?” tanyaku bingung. “bikinin gue puisi dong” pintanya manis.
            “Kapan ? tentang apa? Gue bukan pujangga, engga bisa bikin puisi Far apalagi yang romantis” aku memelas. Ia tersenyum lagi, salah satu senyum yang paling aku sukai. Aufar menatapku, “sekarang, tentang apapun yang ada di fikiran lo saat ini” aku mengambil notebook dan sebuah bolpoint. Aku diam sejenak. Dan tanpa sadar  jemari-jemariku mulai menuliskan kata demi kata. Sepuluh menit berlalu, puisi itu selesai. “Nih!” aku menyodorkan notebook itu padanya. “Manusia di persimpangan” dia menggumam membaca judul puisi yang kubuat.
Manusia di Persimpangan

Manusia di persimpangan
Mencari arah
Mencari pancaran cahaya terang
Mencari kesejukan di setiap tetesan air hujan
Manusia di persimpangan
Amarahmu bersama egomu
Akankah kau menyadari
Setiap kalimat ambigu yang kau gambarkan padaku?
Wahai manusia di persimpangan
Ada hidup ada akhir
Kapal berlayar pun perlu tujuan
Berbeloklah dan kembali padaku

“puisinya bagus. Lumayan baguslah untuk dibikin dalam waktu sesingkat ini” pujinya tulus.
Aku tak berminat menanggapi pujiannya. Otakku sesak di penuhi pertanyaan-pertanyaan untuk cowok di hadapanku ini. Aku ragu mengatakannya. Lebih tepatnya takut. Nafasku tercekat beberapa saat, sampai akhirnya suara itu keluar dari tenggorokanku.
“Far” ku panggil namanya sepelan mungkin,hanya sebatas itu volume suara yang bisa kukeluarkan.
“ya ?”
“lo tau kan kita temenan udah lama?”
“iyalah, sampe-sampe you know me so well, I know you so well kan” candanya.
“lo tau kan gue perduli sama lo?” ucapku masih serius.
Hening sejenak. Sepertinya dia mengerti arah pembicaraan ini. aku menunduk. Sekilas aku melihat dia tersenyum tipis. “iya gue tau” balasnya singkat.
“kemana Aufar!” gertakku langsung, aku melihat ekspresi terkejut dan bingung yang tergambar jelas dari wajahnya. “kemana Aufar yang dulu..” ucapku mulai terisak. Lalu, ia pun tenggelam dalam fikirannya sendiri.
**
Aufar
“maafin gue Clar” gue Cuma bisa bilang sederet kalimat itu dalam hati. Di hadapan cewek ini. Mungkin gue pecundang kelas kakap. Minta maaf sama orang yang paling perduli sama gue pun gue ngga berani. Gue udah bikin dia bingung. Gue nggak mau terbuka.
Gue tahu puisi yang dia buat, jelas dia dedikasikan untuk gue. Dia emang paling tahu banget gue, tapi satu hal yang gue tahu antara gue sama Clarissa bukanlah sepasang kekasih.
Manusia di persimpangan. Itu gue kah?
Gue gatau kenapa, rasanya lagi ancur banget. Nggak bisa damai sama diri sendiri. Gue punya harapan, selaknya manusia yang ingin bertahan hidup dengan sebuah mimpi sebagai penguat bagi diri untuk maju.
Tapi kenapa hidup gue seperti panggung sandiwara. Dimana orang tua gue bertindak sebagai dalang. Memilihkan cita-cita untuk gue. Mengaturnya sampai di usia gue yang ke-18 ini. Demi sebuah keinginan yang ingin mereka wujudkan. Andai.. andai gue nggak pernah jadi orang lain. Pasti gue bakal ngecewain orang tua gue.
Andai gue nggak pernah jadi orang lain! Andai.. andai.. gue Cuma bisa berandai-andai sekarang. Apakah udah telat buat berubah? Buat jadi gue yang dulu lagi.
Andaru, secepet itu lo pergi!
Dulu gue pernah punya kembaran. Andaru namanya. Dia meninggal, karena kecelakan 3 tahun silam. Dan sejak saat gitu, gue coba buat jadi seperti Andaru. Yang pendiam. Yang nurut sama nyokap. Yang rajin kalo disuruh bokap. Semua ini gue lakuin demi ngeliat kedua orang tua gue bahagia. Karena gue tau sejak Andaru pergi, kesedihan dari mereka begitu kerasa. Gue nggak tega. Gue sebagai orang yang pernah berbagi tempat di rahim nyokap gue buat dia, jelas ancur banget.
Kami memang kembar, dari segi fisik. Tapi tentang mimpi, justru gue sama dia bertolak belakang. Siapa sangka? Karena kenyataannya gak ada kembar yang benar-benar identik. Andaru kepengen banget jadi dokter, dan gue.. ga ingin itu, bahkan terbesit dalam fikiran gue pun nggak pernah.
Selama ini, gue Cuma bertahan. Bertahan buat jadi Andaru. Jika yang terbaik adalah, gue dan Andaru melebur menjadi satu dalam dunia ini, dengan tokoh Aufar. Hasilnya adalah Aufar yang sekarang.
**
Clarissa
Sejak hari itu aku tidak melihatnya lagi. Udah ku coba mencari keberadaannya, tapi belum juga ada kabar. Kemana Aufar itu?
Entah perasaan apa ini, saat ia tidak ada. Hati kecil ku seolah bilang, aku merindukannya. Hanya dia.
Yang aku tahu, aku tak pernah menyukainya, tapi kenapa perasaan nyaman itu begitu terasa saat  aku bersamanya? Banyak yang bilang bahwa aku dan dia sama-sama saling menyukai, dan sama-sama saling menyangkal perasaan itu. Karena yang aku tau, Aufar temanku, sahabatku. Oh tidak,  mungkin dia seseorang yang berarti untukku.
**
Sudah semingu Aufar menghilang. Masih belum juga kudapat kabar tentang dirinya. Aku mencoba menyibukkan diriku sendiri. Karena beberapa hari ini, fikiranku terbelenggu oleh bayangan tentang Aufar, dan dimana cowok itu berada sekarang.
Aku pergi kesalah satu mall di Kawasan Margonda Raya, Depok. Ku habisakan waktu membaca beberapa majalah dan membeli novel. Hari mulai siang, perutku terasa lapar. Aku mencari makanan pada jejeran kios makanan yang ada di foodcourt mall ini. Sambil menunggu pesanan, aku mencari tempat duduk yang nyaman.
Tak lama jeda aku duduk, tiba-tiba seseorang menepuk punggungku. Aku menoleh. Seseorang itu adalah seseorang yang ingin aku lupakan hari ini. Lalu ia duduk di hadapanku.
Hening.
pesananan makananku datang. Aku menyantap lahap, tanpa memperdulikan dan menawari makhluk dihadapanku ini.
“lo ga nanya gue kemana?” tanyanya di sela-sela makanku. “Hah?” balasku pongo. Aku melanjutkan makanku, pada  suapan terakhir. Setelah minum, barulah aku menanggapinya.
“gue gak ada kewajiban buat nanya soal itu” ucapku cuek.
“dih, kok lo ngambek sih?” ia menaikkan alisnya.
“gue ngak ngambek, kalo ngambek lo bawain gue balon juga gue diem deh. Gue marah tau!” ucapku geram.
“lo marah karena kangen gue?”
Hening.
“nih buat lo!” ia menyodorkan coklat. Kesukaanku.
Hening lagi.
“gue pergi ke Padang, buat minta izin sama keluarga besar disana. Gue mau ke Berlin, nerusin study photograpy. Lo tau kan ini mimpi gue, bukan mimpi Andaru yang lagi berusaha gue wujudin!”
“hah? Maksudnya?” tanyaku agak nggak mengerti. Akhirnya Aufar menceritakan seluruh kegalauan hatinya, yang sebelumnya ia simpan rapat-rapat. Ia udah milih buat tetep jadi Photographer yang handal. Memilih untuk jadi dirinya sendiri. Setelah berbicara baik-baik, akhirnya orang tua Aufar menyetujuinya. Bahwa Aufar tidak pernah menginginkan menjadi seorang dokter.
Aku lega mendengarnya, karena Aufar telah memilih, hal yang ia inginkan. Bukan karena paksaan ataupun kewajiban semata.
**
Aufar
Hari ini, hari keberangkatan gue ke Berlin. Disana udah ada Anggara, senior gue yang bakal ngebantu gue saat ada disana.
Kalau emang waktu itu gue gak dibuatin puisi itu sama Clarissa, mungkin gue masih harus menekuni bidang yang nggak gue minati.
Akhirnya gue berani, buat mengenali siapa diri gue yang sebenrnya. Bahwa inilah yang gue mau. Inilah mimpi gue, sebisa mungkin gue jujur dan ngeyakinin orang tua gue. Bahwa gue bisa. Dan akan meraih sukses itu kelak dengan cara yang bikin gue nyaman.
Pesawat sebentar lagi take off. Gue melihat wajah itu. Tersenyum manis sambil melambaikan tangannya kearah gue. Empat tahun belakangan ini, pasti gue nggak akan ngeliat dia. Dan pasti gue akan sangat merindukannya. Gue yakin itu. Gue pasti kembali Clar…
**
Ini bukan tentang memilih harus ke kiri, kekanan, ataupun memilih jalan yang lurus. Ini hanyalah kisah, seorang anak bernama manusia. Di mana ketika kita terjebak, dalam mencari arah kemana sebenarnya hidup yang kita inginkan. Dikenal dengan proses pencarian jati diri.
Kini manusia di persimpangan itu telah menemukan arahnya. Aufar bukanlah Andaru. Aufar ga akan bisa jadi Andaru, sekalipun mereka itu kembar. Karena setiap anak yang lahir, punya soul nya masing-masing. Punya mimpi. Dan ketika anak manusia itu beranjak dewasa, dia harus memilih apa yang terbaik untuk dirinya dan masa depannya. Bukan paksaan dari siapapun. Tapi asli dari nurani hati masing-masing
Karena sesungguhnya, manusia di perismpangan itu tidak perlu di kekang. Ia hanya membutuhkan gambaran tentang kehidupan dari seseorang yang lebih dewasa dari padanya.
Berbahagialah disana. Kejar mimpimu. Aku pasti akan merindukanmu.

No comments:

Post a Comment