“kamu yakin mau ikutan audisi untuk film itu?” Dani
menatapku penuh serius. Terlihat sekali bahwa pertanyaan yang ditunjukan padaku
mengisyaratkan keraguan. Aku hanya
tersenyum meyakinkan. “Tentu”
“kamu tau kan Dan, Film itu diangkat dari Novel yang
penulisnya favorit aku banget” kataku bersemangat. Dia hanya mengangguk pelan.
Tanda dia tidak lupa atas kenyataan itu.
“so...?” aku menatap matanya yang penuh pertimbangan. Dia
menghembuskan nafas dengan kasar. “yasudah kalo itu mau kamu. No problem” aku tersenyum lebar
kearahnya, senang sekali dan membuatku tidak sabar atas audisi itu.
Film
yang berjudul Finding You –yang rencananya akan ku ikuti audisinya untuk
pencarian tokoh wanita utama- adalah film yang diangkat dari salah satu novel
favoritku, dan juga penulisnya. Mengisahkan tentang seseorang gadis yang
menyukai seorang laki-laki tidak peka yang ia tidak tahu dimana keberadaannya. Seseorang
dimasa lalu yang ia temui dalam waktu singkat namun mampu membuat hatinya
mengukir perasaan aneh. Banyak orang bilang perasaan itu namanya cinta. Setiap
malam sebelum tidurnya, gadis itu selalu membayangkan bagaimana wajahnya.
Disetiap kakinya melangkah pergi ke dunia luar, gadis itu berharap dan selalu
berharap bisa bertemu kembali dengan orang yang ia rindukan. Sekalipun orang
itu tidak melihatnya, melupakannya, ia tidak mau perduli. karena yang
terpenting baginya, laki-laki itu ada, dan ia bisa melihatnya. Maka segalanya
terasa benar.
Rentetan
cerita diatas adalah plot awal cerita dan minor konfliknya. Aku suka sekali ending dari cerita itu. Happy ending. Sesuai judulnya, si gadis
berhasil menemukan dimana sang pangeran. Penantian itu, berakhir indah saat
laki-laki yang ia kagumi menyatakan cinta padanya. Ya, sebenarnya aku selalu
menyukai cerita cinta, walau diawal terasa menyedihkan dan mampu meremuk-redamkan
si pembaca cerita, tapi cerita cinta itu berakhir bahagia. Itu juga yang aku harapkan
dalam kisah cintaku. Dani dan kebahagiaan.
“Fi”
“Fio”
“Fiorenza”
Dani menepuk bahuku pelan. Aku refleks menoleh.
“ada apa
Dan?”
“kamu
kenapa Fi? Aku udah manggil kamu tiga kali nggak nengok juga”
“I’m okay” jawabku singkat. Sepertinya aku
banyak melamun tadi. Asli aku nggak denger kalo Dani udah manggil-manggil aku
sejak tadi. Aku beranjak dari kursiku dan meraih tangan kirinya dengan tangan
kananku.
“ikut
aku yuk”
“Kemana?”
Dani bangun dari kursi yang ia duduki persis tadi disebelahku, tanpa melepaskan
tanganku.
“Kedai
donat”
Kami pun pergi menuju kedai donat
langganan kami, daerah Gandaria, Jakarta Selatan. Meskipun sering mengunjungi
kedai donat, herannya aku nggak bosan-bosan. Kalo Dani nggak bisa nemenin,
paling aku kesini sendiri, atau merayu-rayu Lisa. Salah satu temanku sejak SMP.
Kali
ini, kami memilih posisi duduk dekat dengan jendela.
“setau
aku, Pantai Pink dipakai untuk latar
tempatnya bukan?” Dani buka suara. Aku yang sedari tadi sibuk memainkan sedotan
orange float yang kuminum,
terperangah kaget dan melihat kearahnya.
“eh?
Kamu tahu?” jelas aku bingung. Dani kan nggak suka baca novel.
“ada
internet Fi, walau aku nggak suka baca novel, yah aku bisa tau itu” aku
menggangguk setuju.
“kalo seandainya kamu lolos audisi film itu, kamu bakal
pergi dong Fi?”
Aku terdiam. Sedikit berfikir. “iya bener, tapi nggak
lama. Hanya untuk film itu, Dan. Aku juga nggak akan main film lagi, aku kan
nggak berniat jadi artis” aku tertawa pelan. “itu juga kalo lolos Dan” Dani
ini, kalo udah serius sedikit menyeramkan, aku harus pintar cari cara merubah
atmosfer suasana panas diantara kami. Aku tau, Dani sebenarnya nggak mau aku
ikutan audisi itu. Tapi bagaimanapun, aku sangat menginginkannya. Toh, syuting
filmnya hanya beberapa bulan saja. Film ini pula tidak akan membuatku terdampar
di kampung orang bertahun-tahun lamanya.
“Lombok itu nggak deket Fi” Dani berkata lirih.
“Dan, I’m 21”
Dani tidak merespon. Satu hal yang tidak aku tahu, sederet
kalimat yang tidak ia ucapkan, yang hanya dipendam dalam hatiya.
Itu tandanya kamu akan jauh dari pandanganku.
Dan aku nggak bisa ngejaga kamu. Dan bagaimana jika, kamu jatuh cinta pada
lawan mainmu?
**
Hari demi hari berganti. Audisi Film Finding You sudah ku
lewati dengan suka duka. Kadang aku merasa lelah, tapi bisa bersemangat kembali
saat aku mengingat tujuanku. Menjadi tokoh utama wanita dalam novel kesukaanku.
Aku merogoh saku jaket dan mengambil ponsel. Hanya untuk
melihat jam, karena aku tidak terbiasa memakai jam tangan kemanapun aku pergi.
Aku melirik hape-ku sekilas. Pukul dua siang. Tapi kenapa Dani belum datang
juga?
Pengumuman audisi sebentar lagi mulai. Aku duduk dengan
gelisah. Kemana si Dani ini? Apa dia tidak ingin menemaniku saat ini?
Aku keluar dari aula besar ini mencari sosok Dani dan
mencoba menelfon, karena suasana didalam begitu ramai. Empat kali aku melakukan
panggilan, tapi belum di angkat juga. aku putuskan untuk masuk kembali karena
sudah terdengar pembawa acara memperdengarkan suaranya dari microphone sana.
“Dan...” aku mendesah pelan menyebut namanya, lalu melangkah
gontai setengah menunduk. Hingga aku tak menyadari seseorang dengan tinggi badan
menjulang sudah ku tabrak.
“sorry..” kataku singkat sambil mengangkat kepala melihat
orang itu.
Damn! Jantungku.... kenapa masih seperti ini? Kenapa? Kenapa
masih juga berdebar keras?
“Alnoza” tanpa sadar aku menyebutkan nama itu. Namanya.
Benar, dia Alnoza Wirasena. Orang itu. Sepertinya subjek
ceritaku berganti, dimulai dari detik ini.
Al menoleh. Menatapku seolah bertanya, ‘kau siapa?’ aku
refleks mundur. Malu juga, jika saja dia tidak mengenaliku. Aku sendiri nggak
akan berani mengenalkan diriku, mengingat dia tahu betul aku yang dulu, seorang
gadis kecil yang berani mengatakan rasa suka padanya. Dia terlihat berfikir.
Apa aku tidak salah lihat? Aku mengerjap. Al tersenyum
padaku!
“Fio kan?”
Deg! Suaranya... Ya Tuhan, apakah aku bisa tidak waras
dalam waktu secepat ini? Alnoza Wirasena, seseorang dimasa lalu yang sangat ku
kagumi, ralat, yang masih sangat ku kagumi hingga detik ini masih mengingatku,
dan tersenyum padaku. Rasanya aku ingin ambruk. Ya mungkin aku berlebihan. Dan
sekarang kau pun tahu aku sangat menyukainya. Tidak ada yang lebih menyenangkan
bukan, selain bisa bertemu kembali dengan seseorang yang sangat kau sukai?
Aku memang senang. Sangat malah, atas pertemuan yang juga
aku impikan selama ini, sebelum Dani mampir mengisi kosongnya ruang dihatiku.
Namun setelah melihatnya kembali, aku dilanda resah.
bagaimana dengan hatiku nantinya? Bagaimana pula dengan hati seseorang yang
menyayangiku?
“Fio” Al memanggilku sekali lagi masih dengan tatapan
bertanya. Tersadar dari lamunanku, aku segera memberikan seulas senyum yang
kubisa. “hei, kak Al”
Aku terkadang memanggilnya kakak. Kadang pula tidak.
Intinya aku memanggil dia sesuka hatiku. Al seniorku waktu kita masih
berseragam putih-biru. Dan juga menandakan, perasaan itu masuk sedalam-dalamnya
ke hati ini delapan tahun silam.
“elo disini ngapain Fi?”
“nungguin pengumuman audisi, lo sendiri?”
“sama”
“masuk yuk, kayaknya udah mau pengumuman tuh” Al mengajakku
memasuki Aula besar itu. Aku mengikuti langkahnya yang besar-besar sambil
melirik kekiri-kanan. Mencari... yah, mencari seseorang yang ‘seharusnya’ ada
si sampingku sekarang. Sudahlah, mungkin Dani terlambat.
**
Terkejut! Mimpiku jadi nyata. Aku berhasil mendapatkan
peran itu. Mungkin actingku memang
bagus. Haha. Soalnya aku sangat menjiwai peran ini dan hafal isi novel itu
tentunya adegan-adegan yang menurutku menyenangkan untuk di baca ulang.
Satu kejutan lain di hari ini, Al yang menjadi lawan
mainku. Aku pun tidak menyangka, dan ragu. Akan ku tanyakan padanya alasan
mengikuti audisi film ini. Karena setahuku, Al tipikal laki-laki cuek, tidak
juga suka baca novel sama seperti Dani. Apalagi sampai tertarik untuk ikut
audisi seperti ini.
Dani menghampiriku dengan wajahnya yang terlihat kesal.
“maafkan aku” ucapnya begitu sampai persis disebelahku. Mau marah tapi nggak
bisa. Niatan mau ngambek tapi malah disodorin muka keselnya duluan aku
mengurungkan niatku. “Dan, kamu”
“tadi aku ada tamu Fi. Penting. Jadi baru sampe sekarang”
potong Dani berupaya menjelaskan. Wajahnya masih terlihat sedikit kesal. Bukan
kesal padaku. Kesal pada keadaan yang mengharuskan dia tidak bisa datang tepat
waktu menemaniku. Takapa lah. Toh, aku sendiri tidak merasa kesal.
“nggak pa-pa kok Dan”
“oh iya, aku mau kasih tau kamu sesuatu!” ucapku
bersemangat.
“tentang?” Dia menatapku. Menunggu.
“aku lolos audisiiiiiii” teriakku kegirangan sambil
mencubit kedua pipinya.
Dani melepaskan kedua tanganku dari wajahnya. Tangan
kanannya menyentuh puncak kepalaku, dan mengacak-acak rambutku
“syukurlah, yang terpenting kamu senang”
Dani. Selalu berdoa untuk kesenanganku. Semoga kau juga
mendapatkan itu, Dan.
**
Semilir angin Lombok meniup rambut ikal milikku dan
membuatnya berterbangan. Kami sampai di Lombok kemarin pagi. Perjalanan
melelahkan namun terbayar sudah mengingat indahnya tempat ini. Kebetulan saat
ini lagi jam bebas. Aku tidak ingin menyianyiakan kesempatan baik liburan
gratis seperti ini. Aku sudah meminta ijin pada kedua orang tua dan juga Dani. Dengan
ijin dari mereka tentu bisa menenangkan hatiku selama disini.
Satu hal yang membuatku penasaran adalah seperti apa
rupanya pantai pink. Aku menyusuri sepanjang pantai ini sambil menikmati
hembusan angin yang begitu menyegarkan kepalaku.
Biasanya yang terpikir duluan adalah sebuah Pantai yang
berada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timurkan? begitu juga denganku. Tapi itu dulu. Kini di hadapanku tersaji pemandangan yang luar biasa
indah. Ternyata Lombok masih saja memberikan kejutan dalam perjalanan gratisku.
Pantai dengan pasir berwarna merah
muda atau biasa kita sebut warna pink itu rupanya nggak cuma
ada di Pulau Komodo, NTT.
Musim hujan membuat rerumputan
disekeliling pantai dan pepohonan yang biasanya kering terlihat menghijau. Kontras dengan hamparan pasir merah muda dan
gradasi warna laut biru dan hijau toska. Pantai
yang sangat “tersembunyi” dan perawan ini menawarkan pemandangan yang
menakjubkan. Pantainya diapit 2 buah bukit kecil dan di kedua bukit itu
tersedia berugak semacam pendopo untuk beristirahat atau sekedar duduk-duduk menikmati pemandangan. Pemandangan dari bukitnya pun luar
biasa. Mengingatkan akan kepulauan raja ampat di Timur Indonesia sana. Dari sini terlihat pula Pulau Sumbawa.
tepukan
pelan dipunggung kananku membuatku menoleh. Ku lihat Al dengan sorot mata
dingin yang selalu kupuja. Sinar dari mata itu belum berubah. Dan Al, masih
menjadi yang paling terang, disini. Refleks aku memegang dada kiriku. Degup
jantungku semakin liar setelah kudengar suara berat miliknya ditelingaku.
"sedang apa?"
"menikmati
hidup" jawabku singkat sambil merentangkan kedua tanganku dan menghirup
udara segar. Berusaha menormalkan kembali detak jantungku. Sungguh, jantungku
tidak boleh berolahraga sekeras ini hanya karena Al. kemudian
kami duduk diatas pasir merah muda, mataku memandang kagum hamparan laut ciptaan Tuhan.
"kenapa
bisa ikutan audisi film ini?" tanyaku teringat rasa penasaran yang telah
melanda sejak hari pengumuman beberapa waktu lalu.
"seseorang
memintanya" jawabnya dengan mata menerawang jauh. Aku jadi ingin tahu
siapa orang yang dia fikirkan. "dia bilang.." Al berkata lagi dengan
menggantung kalimatnya. "karakternya mirip gue" dia tersenyum tipis.
"memang
seperti lo kak"
Aku tertawa kecil. Al menoleh padaku
meminta penjelasan."seperti lo.... sebaiknya tanya
sendiri sama orang yang lo maksud. Mungkin alasan kita beda"
"kalo
alasan lo apa?”
"...."
"Fi"
dia menyenggol lenganku pelan.
"rahasia!"
ucapku meledeknya sambil menjulurkan lidah. Al hanya
mengangkat bahu dengan tatapan 'yasudahlah kalo nggak mau ngasih tau' hening
diantara kami. Satu menit kemudian aku buka suara
“ternyata seorang arsitektur muda yang sibuk seperti lo,
bisa setuju ikutan hal yang nggak lo suka hanya karena seseorang memintanya.
Ajaib loh Al!” tawaku berderai seiring rasa penasaranku.
“begitulah” Al mengangkat bahu tidak perduli.
“memangnya siapa orang itu?” tanyaku hati-hati sambil
menatapnya. Tak bisa dibohongi, hatiku, resah.
“Mia”
OH- Mantan!
Seingatku Mia pacar Al sewaktu SMA. Kenyataan itu
kudapati dari temanku yang bersekolah sama dengan mereka. Dadaku sesak sekali
waktu tahu hal itu.
"gue
heran kenapa gua bias lolos, padahal gua setengah hati
ikutan yang beginian"
"gue juga
heran kenapa
gue bisa ketemu lo lagi" bukannya merespon aku malah bertanya balik dengan kontras. Hening kembali, karena kami berdua
sama-sama tidak tahu jawabannya. sebelum matahari
benar-benar pergi, aku menyentuh tangan Al mengajaknya untuk kembali ke
penginapan. "yuk"
karena sikap lo yang dingin Al, sama seperti karakter itu. Lo nggak peka, atau
pura-pura nggak peka terhadap orang yang begitu mencintai lo....
**
“aku mencintaimu”
Aku tersenyum mendengar kata cinta darinya. Ah, andai
saja ini nyata! Sayangnya ini adalah adegan terakhir yang harus kami tuntaskan
setelah perjalanan panjang kami menempuh suksesnya Film Finding You. Dengan
menghayati peranku –sedikit berharap ini nyata- aku menatap Al dalam.
“aku...” kenapa mendadak lidahku kelu? Come on Fio, ini
Cuma acting!
“aku juga mencintaimu. Sepenuh hati” diatas segalanya,
aku sudah mengungkapkan isi hatiku. Karena inilah yang sesungguhnya kurasakan.
Walaupun bagi Al, ini adalah bagian dari dialog.
Sepersekian detik kurasakan sesuatu yang lembut menyentuh
bibirku. Alnoza menciumku! Hanya ciuman singkat namun sangat mengguncang
jiwaku. Tapi apa maksudnya? Sungguh, seingatku tidak ada adegan seperti ini
dalam naskah. Dan jantungku.... mendadak aku teringat Dani. Al membuatku
terlihat mengkhianati Dani. Dan, maafkan aku.
“hyaa, bagus sekali” puji sutradara Choi melihat adegan
terakhir kami. Riuh tepuk tangan membanjiri telingaku. Sutradara muda nan
cantik itu bangkit dari kursinya dan berjalan kearah-ku yang masih mematung,
bersebelahan dengan Al yang tetap tenang –setelah apa yang dilakukan padaku-
“kerja yang bagus, saya ucapkan selamat pada kalian
berdua. Semoga Film kita sukses!” ucap sutradara Choi sambil bergantian
menyalami tanganku dan Al. Sutradara Choi tersenyum manis lalu memelukku. Aku
membalas pelukannya. “kita adakan party nanti
malam, untuk merayakan kebersamaan kita selama tiga bulan disini”
Aku mengangguk. “kalian
berdua? Hm, sepertinya saya pamit dulu. Have
fun” sutradara Choi tersenyum penuh arti. aku memperhatikan punggung
sutradara Choi semakin menjauh dari pandanganku dan perlahan hilang. Kini kami
tinggal berdua saja. Adegan ‘tadi’ diambil di tepi pantai pink. senja mulai menua. Sayang sekali, karena saat siang disini
lebih indah.
“kak”
“Fi”
Ucap kami berbarengan. Mendadak suasana canggung kembali.
Teringat adegan tadi, pipiku terasa panas.
“besok kita kembali ke Jakarta” Al buka suara terlebih dahulu. “tentu,
memang lo mau lama-lama disini?”
“enggak Fi, lagipula kerjaan gue numpuk. CV yang udah gue
bangun bareng temen-temen masih membutuhkan gue” ucapnya datar. Tidak
mengesankan kehebatannya. Padahal aku tahu dia hebat. Anak rumahan yang ku sukai
menjelma menjadi arsitektur muda yang mengagumkan.
“setelah Film ini benar-benar selesai apa kita bisa
ketemu lagi?”
Aku terdiam. Entahlah, bisa bertemu lagi atau tidak. Aku
sudah melewatkan bertahun-tahun waktu dengan menyukainya tanpa dia disisiku.
Kini, jika dia pergi lagi, aku harusnya sudah terbiasa bukan?
“kenapa pertanyaannya gitu?” akhirnya hanya ini responku.
“karena”
“ya?”
“gue pengen tetep seperti ini Fi. Disamping lo”
Apa ini masih bagian dari adegan? Kalau bukan, ini pasti
tidak serius. Al pasti bercanda, atau mungkin telingaku saja yang bermasalah.
“tapi Al?”
“gue serius Fi. Dan yang tadi itu, gua melakukannya
karena..” dengan gerakan cepat Al menarikku kedalam pelukannya. Bisa kurasakan
hangat nafasnya di leherku. Dan detak jantungnya yang berdebar cepat seperti
milikku. “gue suka lo”
**
Keputusanku untuk ikut audisi Film Finding You adalah
sebuah kesalahan. Kuutarakan hal ini begitu kedua kakiku tiba di Bandara
Soekarno-Hatta. ‘kejutan’ yang kudapati beberapa bulan ini telah
memporak-porandakan jiwaku. Mengacaukan benteng pertahanan yang ku bangun sejak
delapan tahun yang lalu. Membuatku menyadari, dirinyalah yang masih terang dari
pandanganku. Dialah pangeran yang selalu kuimpikan agar bisa ku temui lagi,
entah ia bisa melihatku atau tidak. Karena
yang terpenting dia ada, dan aku bisa melihatnya.
Hampir sebulan berlalu, Lombok masih menjadi kenangan.
Tentang semua sikap Al, canda-tawanya, sorot matanya yang dingin namun teduh,
yang menemaniku selama berada disana.
Gue pengen tetep seperti ini Fi. Disamping lo. Sederet kata itu hampir membuatku tidak waras hanya
dengan memikirkannya.
“kamu berubah Fi” teguran Dani membuyarkan
ketidak-warasan ku. Mengembalikanku pada realita yang sebenarnya.
“ng..”
“maksud kamu?”
“sebulan ini aku selalu merhatiin kamu. Kamu banyak diem
Fi. Tatapan kamu kosong. Entah apa yang terjadi sama kamu disana”
“aku.. aku baik-baik aja kok Dan. Sungguh” kilahku cepat.
Dani tidak boleh tahu, bahwa selama ini aku masih menyukai Al. Aku menyayangi
Dani. Tapi perasaan itu beda. Pada Dani, aku merasakan sebuah ketulusan lebih
kepada sosok seorang kakak. Yang selalu ada dan menjagaku. Tapi pada Al,
ketulusan itu membuatku hampir tidak waras, dan lelah. Lelah akan perasaan yang
tidak bertuan.
“masih menyukainya?” pertanyaan Dani seperti batu besar
yang menghantam dadaku. Sakit. Bingung. Takut. Kenapa tiba-tiba..?
“Dan”
“aku tahu kamu masih menyukainya. Bahkan sangat
menyukainya” Dani menghembuskan nafas dengan kasar. Apakah dia marah? Haaah,
boodoh sekali aku. Kenapa harus aku yang merasakan hal ini?
“Dan aku”
“aku benar kan Fi?” tanyanya lagi memotong ucapanku.
Aku meremas-remas kedua tanganku. Tidak tahu harus apa.
“kenapa nanya gitu Dan?”
“hanya memastikan” jawab Dani singkat. Singkat tapi
dalam.
“kamu..kok tahu?” sekali lagi Dani menghembuskan nafasnya
dengan kasar. “kamu lupa Fi?”
“aku temen semeja Al dulu, sejak sebelum kamu suka dia”
oh iya! Kenapa aku bisa lupa fakta itu. Akhirnya aku menundukan wajah. Tidak
berani mentap Dani lagi.
“maafkan aku” ucapku masih tidak berani menatap wajahnya.
“Fi, lihat aku” aku masih saja kekeuh dengan posisiku yang menatap lantai. Dani membalik tubuhku,
dan menangkup wajahku dengan tangan besar miliknya. Cairan hangat mulai
mengalir dari sudut mataku. Melihatnya membuatku ingin menangis atas rasa
bersalah, karena masih saja tidak bisa melupakan cinta lampauku saat dua tahun
sudah kami bersama.
“maafkan aku Dan. Maaf” Dani menarikku kedalam
pelukannya, membiarkan diriku menangis di tempat yang sama akan sakit hatinya
padaku.
“sudah Fi,
tenanglah” aku masih terisak. Aku tahu dia jauh lebih sakit. “berat untuk
melepasmu Fiorenza, tapi aku akan lakukan itu” aku mendongak melihat wajahnya.
Apa aku tidak salah dengar?
“Dan”
“I’m okay” Dani menghapus
air mata dipipiku.
“cinta memang
nggak mudah berganti Fi” Dani berkata lirih, “mungkin itu juga yang kamu rasain
ke Al”
Aku memeluk
Dani, rasa bersalah itu semakin menjadi. Tapi dengan segenap hati dan jiwanya
Dani malah menenangkanku. Padahal akulah yang jahat disini. “aku akan ada untuk
kamu Fi. This I promise you” Aku
mengeratkan pelukanku padanya. “maafkan aku Dan”
Dani melepaskan
pelukanku lalu menatapku, “nggak usah minta maaf mulu” ucapnya sambil mencubit
kedua pipiku. “sudahlah nanti Al nggak mau nerima kamu kalo kamu cengeng kayak
gini”
Aku tersenyum
lega. Beginilah rasanya punya mantan yang terlalu baik. Tapi aku sangat
bersyukur, setidaknya nggak ada permusuhan. Sejujurnya aku kurang menyukai
pasangan yang sehabis putus jadi musuhan. Bukankah dulu mereka saling
mencintai?
Aku tersenyum
memandang wajah itu, “terimakasih”
Hari ini,
Nafisha Fiorenza telah mematahkan hati seseorang.
**
Setelah putus
dari Dani, kami masih berhubungan baik. Kalo nggak sibuk, Dani mampir kerumahku
untuk sekedar minum kopi atau mendengar keluh kesahnya tentang partner kerja
yang perfeksionist. Kami tidak
canggung lagi, bahkan terkadang aku bercerita tentang Al. Tentang ucapan Al,
bahwa ia ingin disampingku.
Ngomong-ngomong
tentang Al, sampai detik ini kami belum ada status apa-apa. Aku merasakan
perubahan pada diri Al. Sangat berbeda dengan Al yang selalu baik padaku di
Lombok. Harusnya kami tidak usah pulang, biar Al selalu baik padaku. Oke ini
mustahil.
Ponselku
bergetar. Tertera nama Alnoza muncul dilayar. Aku segera mengangkat telfon itu
dengan hati berbunga. Al mengajakku ketemuan.
Aku duduk
disebuah cafe. Sepuluh menit
kemudian, Al datang. Raut wajahnya keruh. Segera aku menyuruhnya duduk. Aku
memanggil pelayan dan memesan makanan. Al hanya mengangguk setuju dengan menu
yang aku pesan.
“ada yang mau
gue omongin ke lo Fi” ucapnya disela-sela makan kami. Sebenarnya yang makan
hanya aku saja. Dari tadi Al hanya mengaduk-aduk makanannya tidak jelas. Mendadak
hatiku resah.
“gue balikan
sama Mia”
Terdiam. Aku
kaget dengan apa yang ia katakan. Sesak. Jadi, bagaimana dengan penantianku?
Harapan itu...palsu?
“kak..” ucapku
menahan tangis. Tidak, tidak boleh aku lemah dihadapannya.
“gue emang suka
lo Fi, tapi....”
“you like me, but you love her. Oke gue
ngerti Al” ucapku dengan senyum tertahan. Gue ngerti kok Al rasanya...
“Fi”
“gue suka sama
lo dari dulu loh kak”
“sejak kita
masih sama-sama pake putih biru” sekali lagi aku berusaha tegar. Menahan air
mata yang tak kuasa untuk kubendung lagi.
“Fio maafin
gue, gue nggak bermaksud seperti pemberi harapan palsu”
Mendadak aku
teringat ucapan Dani ketika kami putus. “Cinta memang nggak mudah berganti”
“cukup Kak,
selamanya gue tetap menjadi seseorang yang berada diluar lingkaran hidup lo”
“sebaiknya gue
pergi sekarang, selamat tinggal” Aku bangkit dari kursi tanpa menoleh lagi pada
Al.
Hari ini,
Alnoza Wirasena telah mematahkan hati seseorang. Dan sialnya orang itu.. aku.
**
Aku pernah
bilang bukan? Aku menyukai sebuah cerita cinta. walau diawal terasa menyedihkan dan mampu meremukredamkan si pembaca
cerita, tapi cerita cinta itu berakhir bahagia. Ternyata aku salah. Setiap Cinta
yang dirasakan mempunyai rasa manis, tapi tak selalu berakhir bahagia. Saat
ini, kudapati akhir dari cerita cintaku. sad
ending. Bukan seperti cerita cinta yang selalu ku baca di setiap novel
kesukaanku. Jika cerita cintaku adalah sebuah novel, dan akulah penulisnya,
tentu akan kubuat tokoh laki-laki utama juga mencintaiku. Akan kubuat seperti
cerita cinta yang indah dalam angan para penikmat cinta. Sayangnya, hidup sudah
begini adanya. Aku sudah mengerti ceritaku dan akan menikmatinya –walau berat-
Alnoza, ibaratnya sebuah lingkaran. Sampai lelah aku
mengitarinya namun tak pernah bisa berhenti mengitarinya. Lingkaran itu tertalu
kokoh. Sulit kutembus dengan hatiku. Begitu sukar untuk memasukinya, karena
seperti sudah termaterai, aku tidak pernah bisa masuk kedalam lingkaran itu.
Dan mungkin akan selalu menjadi orang yang berada di luar lingkaran hidupnya.
Atas segala penantianku, Tuhan, jika hatinya tidak bisa
berubah, ku mohon agar hatiku yang berubah.
September, 2012